Selasa, 19 April 2016


" Sejarah Singkat Imam Al Baihaqi "

Imam Al Baihaqi, yang bernama lengkap Imam Al-Hafith Al-Mutaqin Abu Bakr Ahmed ibn Al-Hussein ibn Ali ibn Musa Al Khusrujardi Al-Baihaqi, adalah seorang ulama besar dari Khurasan (desa kecil di pinggiran kota Baihaq) dan penulis banyak buku terkenal. Masa pendidikannya dijalani bersama sejumlah ulama terkenal dari berbagai ember, di antaranya Iman Abul Hassan Muhammed ibn Al-Hussein Al Alawi, Abu Tahir Al-Ziyadi, Abu Abdullah Al-Hakim, penulis kitab ―Al Mustadrik of Sahih Muslim and Sahih Al-Bukhari‖, Abu Abdur-Rahman Al-Sulami, Abu Bakr ibn Furik, Abu Ali Al-Ruthabari of Khusran, Halal ibn Muhammed Al-Hafaar, dan Ibn Busran. Para ulama itu tinggal di berbagai tempat terpencar. Oleh karenanya, Imam Baihaqi harus menempuh jarak cukup jauh dan menghabiskan banyak waktu untuk bisa bermajelis dengan mereka. Namun, semua itu dijalani dengan senang hati, demi memuaskan dahaga batinnya terhadap ilmu Islam. As-Sabki menyatakan: ―Imam Baihaqi merupakan satu di antara sekian banyak imam terkemuka dan ember petunjuk bagi umat Muslim. Dialah pula yang sering kita sebut sebagai ‗Tali Allah‘ dan memiliki pengetahuan luas mengenai ilmu agama, fikih serta penghapal hadits.‖ Abdul-Ghaffar Al-Farsi Al-Naisabouri dalam bukunya ―Thail Tareekh Naisabouri‖: Abu Bakr Al-Baihaqi Al Hafith, Al Usuli Din, menghabiskan waktunya untuk mempelajari beragam ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya. Dia belajar ilmu aqidah dan bepergian ke Irak serta Hijaz (Arab Saudi) kemudian banyak menulis buku. 
Imam Baihaqi juga mengumpulkan Hadits-hadits dari beragam sumber terpercaya. Pemimpin Islam memintanya pindah dari Nihiya ke Naisabor untuk tujuan mendengarkan penjelasannya langsung dan mengadakan bedah buku. Maka di tahun 441, para pemimpin Islam itu membentuk sebuah majelis guna mendengarkan penjelasan mengenai buku ‗Al Ma‘rifa‘. Banyak imam terkemuka turut hadir. Imam Baihaqi hidup ketika kekacauan sedang marak di berbagai negeri Islam. Saat itu kaum muslim terpecah-belah berdasarkan politik, fikih, dan pemikiran. Antara kelompok yang satu dengan yang lain berusaha saling menyalahkan dan menjatuhkan, sehingga mempermudah musuh dari luar, yakni bangsa Romawi, untuk menceraiberaikan mereka. Dalam masa krisis ini, Imam Baihaqi hadir sebagai pribadi yang berkomitmen terhadap ajaran agama. Dia memberikan teladan bagaimana seharusnya menerjemahkan ajaran Islam dalam perilaku keseharian. Sementara itu, dalam Wafiyatul A‘yam, Ibnu Khalkan menulis, ―Dia hidup zuhud, banyak beribadah, wara‘, dan mencontoh para salafus shalih.‖ Beliau terkenal sebagai seorang yang memiliki kecintaan besar terhadap hadits dan fikih. Dari situlah kemudian Imam Baihaqi ember sebagai pakar ilmu hadits dan fikih. Setelah sekian lama menuntut ilmu kepada para ulama senior di berbagai negeri Islam, Imam Baihaqi kembali lagi ke tempat asalnya, kota Baihaq. Di sana, dia mulai menyebarkan berbagai ilmu yang telah didapatnya selama mengembara ke berbagai negeri Islam. Ia mulai banyak mengajar. Selain mengajar, dia juga aktif menulis buku. Dia termasuk dalam deretan para penulis buku yang produktif. Diperkirakan, buku-buku tulisannya mencapai seribu jilid. Tema yang dikajinya sangat beragam, mulai dari akidah, hadits, fikih, hingga tarikh. Banyak ulama yang hadir lebih kemudian, yang mengapresiasi karya-karyanya itu. Hal itu lantaran pembahasannya yang demikian luas dan mendalam. Meski dipandang sebagai ahli hadits, namun banyak kalangan menilai Baihaqi tidak cukup mengenal karya-karya hadits dari Tirmizi, Nasa‘I, dan Ibn Majah. Dia juga tidak pernah berjumpa dengan buku hadits atau Masnad Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali). Dia menggunakan Mustadrak al-Hakim karya Imam al-Hakim secara bebas. Menurut ad-Dahabi, seorang ulama hadits, kajian Baihaqi dalam hadits tidak begitu besar, namun beliau mahir meriwayatkan hadits karena benar-benar mengetahui sub-sub bagian hadits dan para tokohnya yang telah muncul dalam isnad-isnad (sandaran atau rangkaian perawi hadits). Di antara karya-karya Baihaqi, Kitab as-Sunnan al-Kubra yang terbit di Hyderabat, India, 10 jilid tahun 1344-1355, menjadi karya paling terkenal. Buku ini pernah mendapat penghargaan tertinggi. Dari pernyataan as-Subki, ahli fikih, usul fikih serta hadits, tidak ada yang lebih baik dari kitab ini, baik dalam penyesuaian susunannya maupun mutunya. Dalam karya tersebut ada catatan-catatan yang selalu ditambahkan mengenai nilai-nilai atau hal lainnya, seperti hadits-hadits dan para ahli hadits. Selain itu, setiap jilid cetakan Hyderabat itu memuat indeks yang berharga mengenai tokoh-tokoh dari tiga generasi pertama ahli-ahli hadits yang dijumpai dengan disertai petunjuk periwayatannya. Itulah di antara sumbangsih dan peninggalan berharga dari Imam Baihaqi. Dia mewariskan ilmu-ilmunya untuk ditanamkan di dada para muridnya. Di samping telah pula mengabadikannya ke dalam berbagai bentuk karya tulis yang hingga sekarang pun tidak usai-usai juga dikaji orang. Imam terkemuka ini meninggal dunia di Nisabur, Iran, tanggal 10 Jumadilawal 458 H (9 April 1066). Dia lantas dibawa ke tanah kelahirannya dan dimakamkan di sana. Penduduk kota Baihaq berpendapat, bahwa kota merekalah yang lebih patut sebagai tempat peristirahatan terakhir seorang pecinta hadits dan fikih, seperti Imam Baihaqi.

“Sejarah Singkat Imam An-Nawawi 

Ad-Dimasyqiy”


Dia adalah neurotic bin Yahya bin Hasan bin Husain an-Nawawi ad-Dimasyqiy, Abu Zakariya. Dia lahir di bulan muharam tahun 631 h di tidak, wilayah dimasyq (Damaskus) yang sekarang ibukota Suriah. Dia dididik oleh ayahnya yang dikenal karena ketakwaannya dan ketakwaan. Dia mulai belajar di katatib (baca tulis tempat belajar bagi anak-anak) dan simbol Al Qur ' an sebelum melangkah pada usia dewasa.
Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin besar.
An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilminya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah–halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah didekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Iapun mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata : “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya,baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].
Antara Syaikh: Abul Baqa ' an-nablusiy, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ausiy, Abu Ishaq Al-muradiy, Abul Faraj bin Qudamah Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad Al-maghribiy dan Ibnul Firkah. Dan di antara murid-muridnya: ' Aththar Ibnul Al-Syafi ' i, Abu Al-Hajjaj Al-mizziy, ibnun naqib al-Syafi ' i ' Abul Abbas Al-isybiliy dan Ibnu Abdil Hadi.
Pada tahun 651 h ia menggenapi bapaknya haji dengan menyembah, kemudian dia pergi ke Madinah dan tinggal di sana selama satu bulan setengah kemudian kembali ke dimasyq. Pada tahun 665 h dia mengajarkan di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah (dimasyq) dan menolak untuk mengambil gaji.
Beliau digelari Muhyiddin ( yang menghidupkan agama ) dan membenci gelar ini karena tawadhu’ beliau. Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa beliau berkata :”Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin”.
Imam an-Nawawi adalah seorang zuhud, wara ' dan bertakwa. Dia sederhana, qana ' ah dan sangat mulia. Ia menggunakan banyak waktu dalam perintah-nya. Jangan sering tidur malam dengan shalat atau menulis. Dia juga menegakkan amar ma ' ruf nahi munkar dan Nakir, termasuk ke pihak berwajib, dengan jalan Islam. Ia menulis surat yang berisi saran untuk pemerintah dengan bahasa yang sangat halus. Satu ketika ia dipanggil oleh raja azh-zhahir bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Dia datang dengan kurus dan pakaian jadi sederhana. King meremehkan dia dan berkata: " ini fatwa tandatanganilah!!" Baca dan dia menolak untuk menandatangani tanda tangan. Raja punya marah dan berkata: " mengapa!?" Dia berkata, "karena berisi kedhaliman". Raja menjadi marah dan berkata: "dia dipecat dari pekerjaan-nya". Pembantu itu berkata, " dia tidak punya teman sama sekali. Raja ingin membunuhnya tapi allah campur tangan. Raja berkata: " mengapa tidak kamu membunuhnya setelah semua ini, maka, untuk pak?" Raja berkata: "Demi Allah, sesungguhnya aku sangat takut untuk dia".
Imam Nawawi Ad-Dimasyqiy meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab, diantaranya:
Dalam bidang hadits : Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al- Minhaj (Syarah Shahih Muslim), At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir. 
Dalam bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’. 
Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat. 
Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar. 
Buku ini dikenal luas, termasuk masyarakat dan memberikan manfaat yang besar untuk masyarakat. Itu semua karena saya yang lain allah ta ' ala, maka nikmat dan keseriusan dalam berperang.
Pada umumnya, termasuk dan berpegang kepada manhaj salafi ahlul hadits, tidak dalam filsafat dan mencoba meneladani generasi awal dan menulis sebuah komunitas hebatnya untuk ahlul bid ' ah yang menyelisihi mereka. Tapi dia tidak ma ' shum (terlepas dari kesalahan) dan jatuh banyak kesalahan terjadi untuk uluma-ulama di usia-nya itu adalah kesalahan dari allah subhanah. Dia kadang-kadang menta ' wil dan kadang-kadang tafwidh. Orang yang membayar perhatian pada dia akan mendapatkan bahwa dia tidak ada di dalam bab ini muhaqiq, tidak seperti di lain cabang ilmu pengetahuan. Pada Bab ini, dia banyak basing pendapat-nya pada nukilan-nukilan dari ulama tanpa mengomentarinya.
Adapun memvonis Imam Nawawi sebagai Asy’ari, itu tidak benar karena beliau banyak menyelisihi mereka (orang-orang Asy’ari) dalam masalah-masalah aqidah yang lain seperti ziyadatul iman dan khalqu af’alil ‘ibad. Karya-karya beliau tetap dianjurkan untuk dibaca dan dipelajari, dengan berhati-hati terhadap kesalahan-kesalahan yang ada. Tidak boleh bersikap seperti kaum Haddadiyyun yang membakar kitab-kitab karya beliau karena adanya beberapa kesalahan didalamnya. 
Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa kerajaan Saudi ditanya tentang aqidah beliau dan menjawab: ”Lahu aghlaath fish shifat” (Beliau memiliki beberapa kesalahan dalam bab sifat-sifat Allah).
Imam Nawawi meninggal pada 24 Rajab 676 H –rahimahullah wa ghafarahu-. 
Catatan: Lihat biografi beliau di Tadzkiratul Huffazh 147, Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra, Syadzaratudz Dzahab 5/354